Baju Lek Mukiyo
B A J U L E K MUKIYO
(ajining rogo soko busono)
Lek Mukiyo, adalah nama yg sangat terkenal di kampung saya. Setiap orang pasti mengenal dia. Baik itu orang tua maupun muda. Bahkan anak kecilpun tak asing dengan nama itu.
Di manapun dia seakan gak ada yang tidak kenal. Siapapun yang ketemu dia pasti menyapanya. Dan siapapun yang menyapanya pasti ditanggapi dengan cengengesan. Tertawanya selalu renyah di telinga. Ketika berbicara maupun bercanda hampir tidak ada bedanya. Selalu saja tidak serius. Tapi meskipun begitu, dalam ketidak seriusannya dia tak pernah menjatuhkan lawan bicaranya. Jadi, rata-rata orang akan betah walaupun berlama-lama ngobrol dengannya.
Tapi bukan karena itu dia populer di desa saya. Sekali lagi bukan karena itu semua !!!. Lek Mukiyo terkenal karena ada yang kurang lazim bagi orang kebanyakan.
Lek Mukiyo nyaris tak pernah GANTI BAJU.
Gunjingan tentang hal ini seakan-akan tak pernah habis. Di warung kopi, di pasar, di arisan ibu-ibu dan di mana saja hampir tak pernah lepas nama Lek Mukiyo selalu saja terselipkan untuk dibahas. Dan gunjingan-gunjingan tersebut semakin lama malah menjadi cemoohan. Ketika ada seseorang ngenyek atau meledek temannya sering dengan kata,
"Oh encene raimu koyok gombal mukiyo!!!"
Kata-kata itu tiba-tiba saja jadi melazim dan lumrah. Mereka sudah lupa untuk menengok bagaimana perasaan Lek Mukiyo dengan itu semua. Tersinggungkah, mangkelkah?! Mereka sudah tak perduli. Mungkin hanya saya yang memikirkan hal itu. Terus terang, saya memang kurang suka untuk mencemooh. Justru tanpa disadari, dalam hati mulai timbul perasaan iba dan penasaran pada dia. Dan, juga muncul rasa iri dan cemburu pada "keartisan" Lek Mukiyo. Karena keterkenalan adalah hal yang sangat mahal. Artis artis ibu kota saja berani melakukan apa saja dan berani bayar berapapun demi kata itu. Yakni TERKENAL!!!
Dan yang mengheran-takjubkan adalah ketika saya tanpa sengaja ketemu dipersimpangan jalan. Ternyata semua olok-cemoohan itu sama sekali tak mempengaruhi keseharian si Mukiyo. Baik pada sikap maupun kebiasaannya yang cengengesan itu. Dan juga, tetap tak pernah ganti baju.
Suatu ketika duduk di warung kopi, kebetulan saya berdampingan dengan dia. Saya nyeletuk, "wah, duduk jejer wong terkenal rek!!". Dia hanya tertawa cekakaan.
"Sialan...!!" rutukku dalam hati. Saya jadi penasaran. Saya jadi ingin menyelidik, kenapa sih dia tidak pernah ganti baju. Kucoba memancing dengan bertanya.
"Lek, mau lebaran nich. Gak ada rencana beli baju baru ta??"
Dia malah terpingkal-pingkal. Dan dengan masih campur tertawa dia menjawab juga pertanyaan saya.
"Ora Mas, saya gak mau dibujuki penjual baju.. "
"Lho kok....." belum sempat selesai pertanyaan saya, tiba-tiba ada yang memanggil Lek Mukiyo untuk urusan pekerjaan. Dia langsung saja ngeluyur sambil teriak padaku,
"Monggo Mas...!?".
Sejak itu saya semakin penasaran pada Lek Mukiyo. Dan sejak itu pula saya tidak pernah bertemu dengannya. Sampai sampai saya tanyakan di warung-warung, di pasar, di pangkalan becak. Semuanya hanya geleng kepala tak tahu di mana dia berada.
Saya sudah patah semangat.
Lewat setengah jam adzan dzuhur, Saya menuju musholla terdekat untuk sholat. Panas lumayan terik dan badan terasa basah oleh keringat. Saya nongkrong dulu di serambi musholla, biar kering dulu keringat di tubuh. Beberapa jenak saya hampir saja beranjak menuju tempat wudlu, tiba-tiba muncul seseorang dari dalam musholla.
"Lek Mukiyo!!!" saya menyapa campur kaget juga campur tak percaya.
"Nggeh... Ada apa Mas kok kayak nglihat hantu?!!" sahutnya sambil cengengesan.
Saya masih terperangah. Dia malah terkekeh kekeh "ooh Mas yang nyuruh ganti baju dulu itu ya??!"
"Iya Lek, kenapa kok sampean bilang gak mau dibujuki penjual baju?? Kan ada unen unen AJINE ROGO SOKO BUSONO??"
"Hah hah hah!!! Ya inilah yg saya katakan kebujuk penjual baju"
"Kok gitu Lek..." tanya saya keheranan.
"Kan maksud sampean dengan pakai baju bagus maka kita akan dihargai, ya to??"
"Nggeh..."
"Dihormati, ya to??"
"Nggeh..."
"Disenangi, iya kan??"
Dengan sedikit keki kujawab juga,
"Nggeh Lek..."
"Nah!!! disitulah kesalahannya, -tukas Lek Mukiyo- Sebenarnya maksud dari unen unen itu, manusia menjadi terhormat adalah karena dia pakai baju. Karena dia menutup aurot. Karena makhluk Tuhan di muka bumi ini tidak satupun yang diajari berpakaian kecuali manusia. Jadi, ajine rogo itu terlepas dari baik atau buruknya kain yang dipakai. Tapi menutup aurot apa tidak."
Saya terkesima!! Ini seakan bukan Lek Mukiyo yang biasa dicemooh orang-orang sekitar. Saya hanya melongo. Belum kepikir untuk merespon apa yg dia katakan, dia sudah bicara lagi.
"Kalau sampean ingin dihargai atau dihormati dengan memakai baju bagus, sebenarnya yang dihargai adalah baju sampean. Bukan sampean!!
Karena itulah saya gak mau baju saya mencemooh saya.
Sekarang makin banyak manusia yg tertipu dg bajunya sendiri. Bahkan juga dikuasai oleh pakaiannya yang lain"
"Pakaian yang lain??" tanya saya kebingungan.
"Juga kesurupan pakaiannya tersebut" lanjutnya.
"Kesurupan???" tanya saya semakin bingung. Tapi Lek Mukiyo sudah tidak memperdulikan pertanyaan pertanyaan saya itu. Dia terus saja bicara tanpa berhenti.
"Tahukah sampean selain busono orang jawa juga menyebutnya ageman. Yang selanjutnya menjadi gaman atau pusaka atau piandel. Dan pusaka-piandel itu sekarang menjelma menjadi jabatan"
Kata-kata Lek Mukiyo itu terasa semakin berat. Mata saya berkunang-kunang. Dan kepala saya seakan berputar-putar.
Tiba-tiba... Tubuh Lek Mukiyo bercahaya. Bajunya berubah jadi jubah kerajaan juga bercahaya. Mahkota keemasan di kepalanya juga bercahaya. Ahh... Siapakah dia sebenarnya??
"Banyak pejabat merasa jabatannya itulah dirinya. Maka dia akan tersinggung kalau gak disegani, banyak orang kaya merasa hartanya itulah dirinya. Maka dia akan marah kalau gak dihormati. Banyak orang cerdik-pandai merasa ilmunya itulah dirinya. Maka dia akan mencaci kalau direndahkan.
Mereka lupa bahwa, ajining saliro soko totokromo. Bahkan dalam kitab suci terejawentahkan, sebaik-baik pakaian kebesaran adalah keimanan dan ketundukan marang Gusti. Wa libaasuttaqwaa dzaalika khoir.... Wa libaasuttaqwaa dzaalika khoir... Wa libaasuttaqwa dzaalika khoir..."
Seketika itupun senyap dan Lek Mukiyo raib ditelan bumi. Setelah itu sayup-sayup terdengar adzan.
"Mas.. Mas... Adzan Mas" ada suara lain yg memanggil saya. Tubuh saya terasa berguncang-guncang. Dan, sayapun bangun. Ah... Ternyata saya tertidur.
"Hah!!! Adzan Mas??! -tanyaku kaget- adzan asar Mas!!??"
Lelaki yang membangunkan saya itu nyengir " ya iya Mas. Ya adzan asar"
"Astaghfirullohal 'adziim!!!" saya baru sadar.
"Kenapa Mas??" tanya lelaki itu heran.
"Saya belum sholat asar Mas" saya menjawab lesu.
"Lek Mukiyo tadi kemana Mas??" tanya saya.
"Lho, dari tadi saya hanya melihat sampen yang tidur di sini" jawabnya
Sekeluar dari musholla saya berjalan pulang sambil merenungi semua yang barusan terjadi. Dan Lek Mukiyo tetap saja raib. Semenjak itu pula lambat laun dia terlupakan. Tak ada lagi orang membahasnya.
(ajining rogo soko busono)
Lek Mukiyo, adalah nama yg sangat terkenal di kampung saya. Setiap orang pasti mengenal dia. Baik itu orang tua maupun muda. Bahkan anak kecilpun tak asing dengan nama itu.
Di manapun dia seakan gak ada yang tidak kenal. Siapapun yang ketemu dia pasti menyapanya. Dan siapapun yang menyapanya pasti ditanggapi dengan cengengesan. Tertawanya selalu renyah di telinga. Ketika berbicara maupun bercanda hampir tidak ada bedanya. Selalu saja tidak serius. Tapi meskipun begitu, dalam ketidak seriusannya dia tak pernah menjatuhkan lawan bicaranya. Jadi, rata-rata orang akan betah walaupun berlama-lama ngobrol dengannya.
Tapi bukan karena itu dia populer di desa saya. Sekali lagi bukan karena itu semua !!!. Lek Mukiyo terkenal karena ada yang kurang lazim bagi orang kebanyakan.
Lek Mukiyo nyaris tak pernah GANTI BAJU.
Gunjingan tentang hal ini seakan-akan tak pernah habis. Di warung kopi, di pasar, di arisan ibu-ibu dan di mana saja hampir tak pernah lepas nama Lek Mukiyo selalu saja terselipkan untuk dibahas. Dan gunjingan-gunjingan tersebut semakin lama malah menjadi cemoohan. Ketika ada seseorang ngenyek atau meledek temannya sering dengan kata,
"Oh encene raimu koyok gombal mukiyo!!!"
Kata-kata itu tiba-tiba saja jadi melazim dan lumrah. Mereka sudah lupa untuk menengok bagaimana perasaan Lek Mukiyo dengan itu semua. Tersinggungkah, mangkelkah?! Mereka sudah tak perduli. Mungkin hanya saya yang memikirkan hal itu. Terus terang, saya memang kurang suka untuk mencemooh. Justru tanpa disadari, dalam hati mulai timbul perasaan iba dan penasaran pada dia. Dan, juga muncul rasa iri dan cemburu pada "keartisan" Lek Mukiyo. Karena keterkenalan adalah hal yang sangat mahal. Artis artis ibu kota saja berani melakukan apa saja dan berani bayar berapapun demi kata itu. Yakni TERKENAL!!!
Dan yang mengheran-takjubkan adalah ketika saya tanpa sengaja ketemu dipersimpangan jalan. Ternyata semua olok-cemoohan itu sama sekali tak mempengaruhi keseharian si Mukiyo. Baik pada sikap maupun kebiasaannya yang cengengesan itu. Dan juga, tetap tak pernah ganti baju.
Suatu ketika duduk di warung kopi, kebetulan saya berdampingan dengan dia. Saya nyeletuk, "wah, duduk jejer wong terkenal rek!!". Dia hanya tertawa cekakaan.
"Sialan...!!" rutukku dalam hati. Saya jadi penasaran. Saya jadi ingin menyelidik, kenapa sih dia tidak pernah ganti baju. Kucoba memancing dengan bertanya.
"Lek, mau lebaran nich. Gak ada rencana beli baju baru ta??"
Dia malah terpingkal-pingkal. Dan dengan masih campur tertawa dia menjawab juga pertanyaan saya.
"Ora Mas, saya gak mau dibujuki penjual baju.. "
"Lho kok....." belum sempat selesai pertanyaan saya, tiba-tiba ada yang memanggil Lek Mukiyo untuk urusan pekerjaan. Dia langsung saja ngeluyur sambil teriak padaku,
"Monggo Mas...!?".
Sejak itu saya semakin penasaran pada Lek Mukiyo. Dan sejak itu pula saya tidak pernah bertemu dengannya. Sampai sampai saya tanyakan di warung-warung, di pasar, di pangkalan becak. Semuanya hanya geleng kepala tak tahu di mana dia berada.
Saya sudah patah semangat.
Lewat setengah jam adzan dzuhur, Saya menuju musholla terdekat untuk sholat. Panas lumayan terik dan badan terasa basah oleh keringat. Saya nongkrong dulu di serambi musholla, biar kering dulu keringat di tubuh. Beberapa jenak saya hampir saja beranjak menuju tempat wudlu, tiba-tiba muncul seseorang dari dalam musholla.
"Lek Mukiyo!!!" saya menyapa campur kaget juga campur tak percaya.
"Nggeh... Ada apa Mas kok kayak nglihat hantu?!!" sahutnya sambil cengengesan.
Saya masih terperangah. Dia malah terkekeh kekeh "ooh Mas yang nyuruh ganti baju dulu itu ya??!"
"Iya Lek, kenapa kok sampean bilang gak mau dibujuki penjual baju?? Kan ada unen unen AJINE ROGO SOKO BUSONO??"
"Hah hah hah!!! Ya inilah yg saya katakan kebujuk penjual baju"
"Kok gitu Lek..." tanya saya keheranan.
"Kan maksud sampean dengan pakai baju bagus maka kita akan dihargai, ya to??"
"Nggeh..."
"Dihormati, ya to??"
"Nggeh..."
"Disenangi, iya kan??"
Dengan sedikit keki kujawab juga,
"Nggeh Lek..."
"Nah!!! disitulah kesalahannya, -tukas Lek Mukiyo- Sebenarnya maksud dari unen unen itu, manusia menjadi terhormat adalah karena dia pakai baju. Karena dia menutup aurot. Karena makhluk Tuhan di muka bumi ini tidak satupun yang diajari berpakaian kecuali manusia. Jadi, ajine rogo itu terlepas dari baik atau buruknya kain yang dipakai. Tapi menutup aurot apa tidak."
Saya terkesima!! Ini seakan bukan Lek Mukiyo yang biasa dicemooh orang-orang sekitar. Saya hanya melongo. Belum kepikir untuk merespon apa yg dia katakan, dia sudah bicara lagi.
"Kalau sampean ingin dihargai atau dihormati dengan memakai baju bagus, sebenarnya yang dihargai adalah baju sampean. Bukan sampean!!
Karena itulah saya gak mau baju saya mencemooh saya.
Sekarang makin banyak manusia yg tertipu dg bajunya sendiri. Bahkan juga dikuasai oleh pakaiannya yang lain"
"Pakaian yang lain??" tanya saya kebingungan.
"Juga kesurupan pakaiannya tersebut" lanjutnya.
"Kesurupan???" tanya saya semakin bingung. Tapi Lek Mukiyo sudah tidak memperdulikan pertanyaan pertanyaan saya itu. Dia terus saja bicara tanpa berhenti.
"Tahukah sampean selain busono orang jawa juga menyebutnya ageman. Yang selanjutnya menjadi gaman atau pusaka atau piandel. Dan pusaka-piandel itu sekarang menjelma menjadi jabatan"
Kata-kata Lek Mukiyo itu terasa semakin berat. Mata saya berkunang-kunang. Dan kepala saya seakan berputar-putar.
Tiba-tiba... Tubuh Lek Mukiyo bercahaya. Bajunya berubah jadi jubah kerajaan juga bercahaya. Mahkota keemasan di kepalanya juga bercahaya. Ahh... Siapakah dia sebenarnya??
"Banyak pejabat merasa jabatannya itulah dirinya. Maka dia akan tersinggung kalau gak disegani, banyak orang kaya merasa hartanya itulah dirinya. Maka dia akan marah kalau gak dihormati. Banyak orang cerdik-pandai merasa ilmunya itulah dirinya. Maka dia akan mencaci kalau direndahkan.
Mereka lupa bahwa, ajining saliro soko totokromo. Bahkan dalam kitab suci terejawentahkan, sebaik-baik pakaian kebesaran adalah keimanan dan ketundukan marang Gusti. Wa libaasuttaqwaa dzaalika khoir.... Wa libaasuttaqwaa dzaalika khoir... Wa libaasuttaqwa dzaalika khoir..."
Seketika itupun senyap dan Lek Mukiyo raib ditelan bumi. Setelah itu sayup-sayup terdengar adzan.
"Mas.. Mas... Adzan Mas" ada suara lain yg memanggil saya. Tubuh saya terasa berguncang-guncang. Dan, sayapun bangun. Ah... Ternyata saya tertidur.
"Hah!!! Adzan Mas??! -tanyaku kaget- adzan asar Mas!!??"
Lelaki yang membangunkan saya itu nyengir " ya iya Mas. Ya adzan asar"
"Astaghfirullohal 'adziim!!!" saya baru sadar.
"Kenapa Mas??" tanya lelaki itu heran.
"Saya belum sholat asar Mas" saya menjawab lesu.
"Lek Mukiyo tadi kemana Mas??" tanya saya.
"Lho, dari tadi saya hanya melihat sampen yang tidur di sini" jawabnya
Sekeluar dari musholla saya berjalan pulang sambil merenungi semua yang barusan terjadi. Dan Lek Mukiyo tetap saja raib. Semenjak itu pula lambat laun dia terlupakan. Tak ada lagi orang membahasnya.
IBNoE KOeNCORO
Surabaya, 25 juni 2016
Post a Comment