Toilet Syar'i: Problem Etika dan Fiqh

Oleh Sahlul Fuad
Jamaah NU Miring

Buang air kecil atau kencing pada dasarnya mudah. Tinggal cur. Selesai. Namun persoalan kencing ini menjadi repot jika dikait-kaitkan dengan urusan etika dan ajaran agama, khususnya Islam, aswaja pula.

Bagi orang Indonesia, yang kebetulan bagian dari komunitas santri dan Jawa seperti saya, kencing bukan perkara remeh. Sejak kecil, orang tua saya sudah mengatur-atur saya kalau ingin kencing. Tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus begini, harus begitu, dan seterusnya. Kencing dilarang sembarangan.

Dalam pendidikan agama Islam, khususnya pesantren, perkara kencing ini masuk dalam pembahasan ilmu fiqih di bab-bab awal, yaitu bab kesucian (thaharah). Permasalahan kencing masuk sebagai perbuatan yang membatalkan wudlu, dan air kencingnya sebagai benda cair yang najis. Oleh karena itu, kencing dan airnya harus disucikan.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana fasilitas tempat kencing atau biasa disebut Toilet sebagai fasilitas publik yang tersedia di berbagai tempat Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Apakah fasilitas toilet ini menjawab persoalan etika dan hukum yang berlaku bagi kaum santri? Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk menelaah bentuk-bentuk fasilitas toilet umum yang dikaitkan dengan kesucian.

Alamiah Kencing

"Dilarang Kencing di Sini Kecuali Anjing" yang banyak ditulis orang di depan pagar atau pojok belakang rumah orang-orang di kota, menunjukkan betapa urusan kencing  menjadi problem yang tidak sederhana alias rumit. Ungkapan larangan di atas menunjukkan bahwa kencing di tempat-tempat tertentu bisa menjatuhkan martabat seorang manusia menjadi seekor binatang yang tak berbudaya. Padahal kencing itu adalah perilaku biologis yang tidak bisa kita tolak sebagai kodrat Tuhan. Semua jenis hewan atau binatang mamalia, termasuk manusia pasti kencing. Bahkan ada penelitian yang membuktikan bahwa durasi kencing  jenis binatang mamalian itu sama semua, yaitu 21 detik.

Dalam banyak kajian atau penelitian, kencing merupakan salah satu fenomena penting dalam kehidupan manusia. Secara biologis dan medis, kencing merupakan proses pembuangan cairan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia, atau pembuangan cairan yang berlebihan, termasuk sisa-sisa obat dan racun. Pemilihan cairan yang dibutuhkan atau tidak dibutuhkan tersebut dilakukan oleh salah satu organ dalam tubuh yang bernama ginjal. Jika ginjal seseorang bermasalah, air kencing pun tampak bermasalah, misalnya perubahan jumlah dan warnanya yang berubah dari biasanya. Air kencing bisa dijadikan sebagai gejala deteksi kesehatan atau kenormalan ginjal seseorang.

Setelah proses penyaringan melalui ginjal, cairan yang siap dibuang, ditampung dalam organ yang disebut kandung kemih. Kalau kandung kemih ini penuh, ia akan laporan kepada otak yang mengabarkan bahwa seseorang ingin kencing. Hebatnya, manusia mampu mengontrol atau menahan kencing dalam beberapa lama, walaupun penahanan yang terlalu lama bisa mengumpulkan bakteri dan merusak saluran sistem perkencingan.

Adapun kandungan dalam air kencing, menurut informasi, terdapat 15 (lima belas) zat, mulai dari zat garam, amonia, asam sulfat, sampai asam klorida. Karena zat-zat tersebut rasa dan aroma air kencing sangat kentara. Bahkan ketika sudah kering pun baunya masing menyengat.

Persoalan biologis atau alamiah terkait air kencing juga menjadi persoalan dalam kajian fiqh. Menurut ajaran Islam, air kencing adalah benda cair najis, baik ketika masih cair maupun yang sudah kering. Ada yang berpendapat air kencing anak laki-laki belum makan apapun, kecuali air susu ibu (ASI) masuk kategori najis mukhaffafah, atau najis ringan. Untuk membersihkan air kencing ini cukup disiram bisa dikatakan suci. Menariknya, kalau air kencing bayi perempuan yang juga hanya mengonsumsi ASI ada yang mengategorikan sebagai najis mutawasithah. Walaupun demikian, madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggapnya sama.

Perdebatan para ahli fiqih mengenai air kencing anak laki-laki dan perempuan yang bersumber dari hadits ini memunculkan inisiatif untuk melakukan uji laboratorium. Hasil dari penelitian membuktikan bahwa dalam urine bayi laki-laki dan bayi perempuan terkandung tipe bakteria yg dikenal sebagai escherichia coli. Akan tetapi urine dalam bayi lelaki mengandung lebih sedikit bakteria itu dari pada urine perempuan. Data ini memperkuat keyakinan para ahli fiqih penganut madzhab Syafi'iyah dan Hambaliyah bahwa air kencing bayi perempuan masuk kategori najis mutawasithah. Meski demikian, semua jenis air kencing menurut ajaran Islam dalam pendapat seluruh ulama adalah najis.

Bagaimana jika air kencing itu dipergunakan obat, karena terbukti air kencing bisa mengobati banyak penyakit? Kenajisan air kencing memang tidak berubah. Namun ketika dalam kondisi darurat, air kencing bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kencing sebagai Problem Sosial-Budaya

Persoalan kencing menjadi berbeda ketika ditinjau sebagai konstruk sosial-budaya. Terlepas dari airnya najis atau tidaknya, punya manfaat atau tidak, namun praktik kencing di berbagai tempat bisa beragam. Ada orang yang bisa kencing di sembarang tempat, ruang terbuka atau ruang tertutup. Bagi yang tidak terbiasa kencing di ruang terbuka, dia akan berusaha menahan kencingnya hingga bertemu ruang tertutup seperti toilet.

Orang yang hanya bisa kencing di ruang tertutup menunjukkan bahwa dia memiliki banyak beban nilai etika dan norma yang melekat pada dirinya. Bisa jadi dia merasa malu atau tercela jika kencing di ruang terbuka, apalagi di sana ada orang yang bisa melihatnya sedang kencing. Biasanya orang tersebut sejak kecil diajarkan tentang etika kencing, dan tidak boleh kencing di sembarang tempat. Faktanya banyak juga orang tua yang membiarkan atau bahkan menyuruh anaknya kencing di depan rumahnya. Walaupun ada juga yang setelah anaknya kencing, lokasi air kencingnya disiram agar tidak berbau pesing.

Jika orang-orang yang tak biasa kencing di ruang terbuka "kebelet" alias tak mampu lagi menahan untuk kencing, dia berusaha mencari tempat yang benar-benar sepi. Itu pun dia masih perlu alat penghalang agar tidak mudah dilihat orang lain, setidaknya wajahnya.

Di gedung-gedung atau fasilitas umum, termasuk terminal, stasiun, bahkan dalam kendaraan seperti bus, kereta, dan pesawat umumnya disediakan sarana untuk kencing. Sarananya pun bisa beragam pula, ada yang berbayar dan ada pula yang gratis. Jadi, persoalan kencing juga bisa menjadi bisnis yang besar. Dulu saya pernah mendengar bahwa ada orang yang memiliki 5.000 toilet atau ponten di terminal. Kalau per toilet bisa menghasilkan Rp 50.000-100.000 per hari, dia bisa memperoleh pendapatan mencapai Rp 2-5 miliar. Karena itu, pemilik atau pengelola pun bukan sekadar menyiapkan tempat kencing,  tetapi juga menyediakan petugas kebersihannya.

Di tempat-tempat tertentu, sarana untuk kencing dikelola sedemikian rupa untuk kenyamanan para penggunanya. Sarana itu biasa disebut Toilet atau Rest Room. Ia juga dipisahkan peruntukannya, untuk laki-laki biasa ditulis Pria atau Gent, atau Man. Sedangkan untuk perempuan biasa ditulis Wanita atau Ladies, atau Woman. Di masing-masing toilet itu tersedia alat yang berbeda. Untuk laki-laki biasanya dipasang urinoir, selain juga disedikan kloset. Sedangkan di tempat perempuan hanya disediakan kloset. Dari alat yang disediakan berimplikasi pada cara pria dan wanita kencing. Pria diarahkan untuk bisa kencing berdiri atau duduk atau jongkok, sedangkan wanita hanya diarahkan untuk kencing duduk atau jongkok.

Kencing duduk atau berdiri bagi pria maupun wanita menjadi menarik jika disoroti dalam sudut pandang yang berbeda-beda. Alat kelamin masing-masing pria dan wanita memang berbeda. Pria bisa mengendalikan alat kelaminnya lebih fleksibel dibandingkan wanita ketika kencing. Meski demikian, bentuk pakaian yang digunakan kaum wanita lebih variatif dibanding yang digunakan kaum pria. Wanita dan pria, bisa jadi sama-sama menggunakan celana panjang dan celana dalam. Namun ketika kencing, pria lebih muda mengarahkan alat kelaminnya agar tidak mengenai celananya tanpa harus melepas atau melorot banyak celananya. Sedangkan wanita menjadi sulit menghindari celananya tidak terkena air kencing kecuali dengan cara melepas celananya jika ingin berdiri atau melorot celananya dengan cukup, lalu kencing dengan duduk atau jongkok.

Di toilet pria, bentuk, model, ukuran, dan posisi pemasangan urinoir sendiri ternyata sangat beragam, ada yang manual dan ada juga yang otomatis. Ukurannya juga ada yang kecil, sedang, dan besar. Posisi memasangnya ada yang sangat rendah dan ada yang sedang.

Urinoir otomatis seringkali dianggap tidak nyaman olah para pengguna yang berusaha menjaga kebersihan atau kesucian alat kelaminnya, khususnya bagi umat beragama Islam yang taat. Urinoir otomatis memang bisa menyiram bekas air kencing sendiri setelah pengencing meninggalkannya. Namun, sayangnya alat ini seringkali tidak dilengkapi dengan kran untuk mencuci atau membasuh alat kelaminnya, sehingga bagi muslim yang taat alat ini jelas membuatnya repot kalau hendak salat atau lainnya.

Apakah urinoir manual juga tidak merepotkan muslim yang taat, khususnya orang yang sangat berhati-hati dalam menjaga kesucian? Tidak terjamin. Banyak urinoir manual yang krannya juga rusak, sehingga ketika beristinjak airnya tidak keluar. Dan persoalannya juga bukan sekadar beristinjak atau membersihkan alat kelamin dari najisnya air kencing. Keran yang sangat kecil seringkali membuat seseorang merasa kurang bisa membersihkan, apalagi kawat kecil itu airnya hanya menetes-netes saja. Begitu juga dengan keran yang airnya deras. Meski keran yang memancurkan air cukup deras bisa membuat kelamin tersucikan, namun cipratan air bisa membuat celana terkena cipratan yang mengandung najis. Di beberapa toilet pria memang ada yang menyediakan urinoir yang bagian bawahnya diberi mika penghadang cipratan. Dari mika tersebut menunjukkan banyak cipratan air, yang tidak jelas najis atau sucinya. Oleh karena itu, fasilitas urinoir perlu mempertimbangkan desain urinoir yang tingkat kelancaran air dan cipratan airnya bisa menjaga kebersihan dan kesucian penggunanya, khususnya umat Islam yang sangat berhati-hati.

Bagaimana kalau dilihat dari sudut pandang etika? Di Indonesia, kencing berdiri dinilai sebagai tindakan yang tidak atau kurang elok. Hal ini bisa dilihat adanya pribahasa yang berbunyi, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Pribahasa ini  berarti guru yang kencing berdiri adalah guru yang kurang bisa menjaga etika atau kesopanan. Jika gurunya saja tidak sopan, apa lagi muridnya. Lantas, bagaimana jika di semua fasilitas umum mengarahkan para guru atau tokoh masyarakat untuk kencing berdiri? Tentu saja ini menunjukkan bahwa nilai-nilai etika masyarakat terkait kencing ini telah berubah.

Menuju Toilet Syar'i

Dari ulasan di atas menunjukkan bahwa kencing yang awalnya persoalan sederhana dan alamiah, namun menjadi persoalan yang tidak sederhana. Kencing ketika ditinjau dari beberapa aspek, memunculkan banyak persoalan. Dalam tulisan yang sederhana ini, saya memang kurang meninjau secara komprehensif dan holistik. Akan tetapi, satu hal yang ingin saya rekomendasikan, yaitu Toilet Syar'i. Kenapa, apa, dan bagaimana Toilet Syar'i?

Toilet syar'i yang saya usulkan ini untuk menjawab problem kesucian dan kenajisan terkait kencing, sekaligus dari aspek etika. Meskipun duduk dan kencing berdiri bisa ditinjau sebagai ajaran agama dari Nabi Muhammad dan aspek kesehatannya, namun fleksibilitas dan realitas kencing berdiri bagi laki-laki lebih saya pandang sebagai problem etika. Sedangkan problem kesucian dan kenajisannya, walaupun cipratannya bisa dianggap sebagai najis mukhaffafah, namun hal ini penting untuk meyakinkan bahwa setiap muslim bisa menjalankan ibadah salatnya sah dan diterima Allah swt.

Toilet syar'i adalah toilet yang suci dan menyucikan, serta bisa menjaga perasaan etis orang kencing. Toilet syar'i memang perlu didesain sedemikian rupa sehingga kebutuhan yang dimaksudkan bisa dipenuhi.


Tidak ada komentar