Sarung: Antara Madura dan Gresik

Kiai M Faizi mengawali kalimat, "Sarung memang identik dengan orang Madura..." dalam artikelnya berjudul Sarung, Madura dan Inferioritas. Meski menyebut Lombok dan daerah lainnya sebagai salah satu contoh daerah dengan masyarakat pengguna pakaian yang dijahit satu sisi saja ini, tapi beliau tidak menyinggung Gresik sama sekali. Bagi saya, kiai yang pernah keluyuran ke Jerman pakai sarung ini tidak sensitif terhadap salah satu daerah tempat produksi sarung terbanyak di dunia, termasuk produksi sarung kebanggaannya, BHS.

Secara Geografis, Gresik dan Madura memang bertetangga. Tidak sedikit penduduk Gresik, terutama di kota, berasal dari Madura. Tidak mengherankan pula banyak kebudayaan Madura yang hidup subur di wilayah Gresik. Bahkan salah satu pulau di wilayah Gresik, yaitu Bawean, menggunakan bahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari. Entah sebaliknya. Namun, bisa jadi Gresik memengaruhi Madura melalui tradisi sarungnya.

Saya meyakini, hubungan kebudayaan Gresik dan Madura ini sangatlah erat. Masyarakat Gresik dan Madura sesungguhnya saling mengunjungi. Banyak orang Gresik yang ziarah ke makam ulama dan wali ke daratan Madura, dari Bangkalan sampai Sumenep. Begitu juga, banyak masyarakat Madura yang ziarah ke makam para ulama dan wali di Gresik. Hubungan silaturahim kuburan ini menunjukkan Gresik dan Madura ada interaksi yang sangat lekat.

Meski sulit menyatakan siapa yang lebih tua dalam bersarung di antara masyarakat Gresik dan Madura, namun dilihat dari hubungan sejarah perdagangan dan penyebaran Islam di antara Gresik dan Madura dapat memberikan petunjuk. Gresik merupakan pusat perniagaan internasional sejak sebelum era kolonial Eropa. Interaksi Gresik dengan Cina, India dan masyarakat Arab sudah terjadi pada abad ke-11. Dan ternyata tradisi bersarung juga dilakukan masyarakat India dan di Yaman. Bahkan ada yang menyatakan bahwa bersarung berasal dari Yaman. Dengan demikian, Gresik dimungkinkan menjadi pintu masuk persebaran budaya bersarung di Madura.