Jenis dan Tingkatan Ulama

Sahlul Fuad 

Meski terma "Ulama" dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab, namun pengertian dan konsepnya tidak lagi merujuk pada pengertian dan konsep umum dalam bahasa Arab. Pengacuan secara generik terma "Ulama" dalam bahasa Indonesia terhadap makna 'alima-ya'lamu-'ilman-'alimun-ma'lumun bisa jadi menjadi kurang relevan. Sebab, terma "Ulama" dalam bahasa Indonesia telah mengalami pengkhususan pada "orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam." Jadi jelas bahwa ketika disebutkan terma "Ulama" dalam konteks bahasa Indonesia akan dirujukkan kepada pengertian orang Indonesia, bukan dalam pengertian luas.

Meski istilah "alim" (kata tunggal dari ulama dalam bahasa Arab) bermakna luas, "orang yang memiliki pengetahuan atau berilmu", namun asosiasi dan standar masyarakat Indonesia terhadap orang yang dimaksud juga masih belum jelas betul. Dalam bahasa Indonesia, istilah alim ini seringkali ditujukan pada pengertian kesalehan seorang. Ada pula yang dialamatkan pada ciri-ciri khusus, seperti standar pengetahuan, jumlah hafalan, ketaatan dalam beribadah, dan sikap atau perilakunya, termasuk dalam berpakaian. Bahkan tidak jarang asosiasi tentang orang yang disebut alim hanya dirujukkan pada orang yang taat beribadah dan berperilaku sopan menurut adat dan kebiasaan setempat.

Sebagaimana standar tentang orang yang dapat atau berhak untuk merawikan hadis atau merumuskan hukum (ijtihad) dan mengeluarkan pendapat hukum (fatwa), perlu ada ukuran dan kualifikasi yang jelas tentang orang yang disebut ulama. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk membahas jenis dan tingkatan ulama.

Sekali lagi, terma "Ulama" yang dimaksud dalam artikel ini mengacu pada konteks bahasa Indonesia, yang berarti memiliki makna khusus. Walaupun dia seorang guru besar, namun jika bukan bidang ilmu agama Islam maka dalam konteks ini tidak masuk dalam kategori ini. Sebaliknya, walaupun tidak pernah sekolah formal, orang yang menguasai bidang agama Islam "bisa jadi" akan masuk dalam kategori ulama. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apa saja yang disebut pengetahuan agama Islam? Dan bagaimana ukuran seseorang disebut ahli? Apakah ada tingkatannya?


Ilmu dan Pengetahuan Agama Islam

Ilmu dan pengetahuan merupakan dua istilah yang berbeda dari segi kualitas. Secara epistemik, level pengetahuan berada pada posisi paling depan atau kulit, sedangkan ilmu berada pada posisi bagian dalam. Meski ilmu dan pengetahuan sama-sama dapat diambil dari panca indra dan diolah oleh akal budi, namun ilmu memiliki prosedur dan langkah-langkah yang telah disepakati para ahli, sehingga dapat diukur keabsahan dan kredibilitasnya. Sebagaimana pendapat al-Farabi, yang dijelaskan Osman Bakar, ilmu dapat dipahai sebagai batang tubuh pengetahuan yang terorganisir dan sebagai sebuah disiplin yang mempunyai tujuan, premis dasar, dan obyek serta metode penelitian tertentu. Derajat antar ilmu bisa jadi berbeda, sebagian lebih utama daripada yang lainnya, "karena untuk sampai pada klaim-klaim kebenaran sekaligus membuktikannya digunakan metode-metode yang lebih sempurna."

Banyak orang tahu atau berpengetahuan tentang agama Islam, namun dari mana dia mengetahuinya? Apa saja yang dia ketahui? Dan bagaimana cara mengetahuinya? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin dapat memandu kita tentang jenis dan tingkat keawaman dan keulamaan seseorang.

Islam sebagai agama dapat dilihat dari berbagai dimensi dan aspeknya. Walaupun yang dimaksud dengan istilah 'Islam' hanya merujuk pada satu-satunya agama yang diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia melalui Nabi dan Rasulullah Muhammad saw, namun konsepsi tentang Islam mengalami kerumitan atau kompleksitas tersendiri ketika dilihat  ajaran-ajarannya. Memang, ajaran agama Islam dapat dilihat hanya dalam Al-Quran dan Hadits, namun isi ajaran dalam dua warisan besar tersebut sangat padat. Dengan demikian, penguasaan pemahaman terhadap dua warisan utama ini mutlak bagi setiap ulama.

Al-Quran, sebagai tempat penyimpanan atau sumber ajaran pokok agama Islam, diturunkan dalam bahasa Arab, yang dapat dan agar dipahami oleh manusia agar fungsi utamanya sebagai petunjuk dan penjelas menjadi operasional. Bahasa Arab yang dipergunakan sebagai alat penyampaian pesan Allah tersebut juga memiliki tingkatan yang tidak sama dalam bahasa sehari-hari kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh para ahli bahasa bahwa di dalam bahasa terdapat "makna", "ada sesuatu yang ditandai", dan "ada sesuatu yang menandai". Dan di dalam bahasa Arab Al-Quran terdapat banyak lapisan-lapisan "makna yang didapat" atau  diperoleh manusia ketika dibaca, dipahami, dan direnungi. Pemahaman atas bahasa Arab dalam Al-Quran ini telah melahirkan berbagai ilmu tersendiri dalam ajaran agama Islam. Oleh karena itu, orang dapat disebut memahami Al-Qur’an jika dia memiliki pengetahuan atas ilmu bahasa Arab.

Selain dijaga keasliannya dengan metode penulisan (rasm), bahasa Arab Al-Qur'an juga terus dijaga keautentikannya melalui sistem pengucapan dan bacaan yang tepat. Hingga saat ini, umat Islam meyakini bahwa keaslian dan kemurnian Al-Quran masih tetap terjaga sejak disampaikan Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Salah satu upaya penjagaan keaslian dan kemurnian tersebut adalah dengan cara merumuskan sistem pengucapan dan bacaan tersebut kini dikenal dengan ilmu tajwid. Di dalam ilmu tajwid diajarkan tentang tempat-tempat keluarnya setiap huruf hingga waktu yang tepat untuk berhenti dan mulai bacaan, sehingga ketika seseorang membaca Al-Qur'an maka bunyi yang dihasilkan diharapkan benar-benar sesuai dengan ketika Rasulullah membaca Al-Quran. Sistem penulisannya pun ditetapkan menggunakan metode penulisan Utsmani, yang berarti merujuk pada bentuk-bentuk haruf atau rangkaian huruf sebagaimana yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah. Dan karena perkembangan pengetahuan para ahli akhirnya penulisan tersebut dilengkapi dengan tanda-tanda baca, seperti tanda harakat (fathah, kasrah, dlammah, sukun, tasydid), hingga tanda-tanda wakaf. Para ahli pun merumuskan bahwa orang yang membaca dan menulis teks Al-Quran harus atau wajib mampu menjaga keaslian dan kemurnian dengan cara mempelajari ilmu tajwid dan ilmu rasm.

Begitu juga dalam menjaga keaslian dan keautentikan hadis, para ahli mengumpulkan dan menyeleksi berbagai informasi dan data terkait seluruh ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah saw. Karena proses pengumpulan hadis ini dilaksanakan jauh setelah Nabi Muhammad wafat, para ahli hadis membuat berbagai kriteria hadis berdasarkan sumber-sumber yang merawikan atau menceritakannya. Ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam ilmu hadis, yang mengkaji tentang asal-usul peristiwa atau konteks suatu hadis itu lahir (asbabul wurud), mengkaji orang-orang yang merawikan, banyaknya sumber yang mengabsahkan, teks atau matan, dan sebagainya. Karena itulah, ada rumusan tentang tingkatan hadis, seperti hadis sahih, ahad, dlaif, dan lain-lainnya. 

Para ulama pengkaji Al-Qur’an yang secara spesifik menekuni persoalan bahasa pada akhirnya mengungkap banyak misteri keindahan dan kekuatan bahasa Arab Al-Quran. Misteri keindahan dan kekuatan tersebut tampak konsisten sehingga dirumuskan sebagai ilmu tersendiri. Bukan hanya dari aspek pola perubahan bunyi dan bentuk kata atau kalimat, tetapi juga susunannya, yang kemudian menjadi ilmu Nahwu dan Sharaf. Pola-pola ungkapan atau pernyataannya ternyata berhasil disingkap melalui ilmu Balaghah, Mantiq, dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut dalam tradisi pesantren dikenal dengan istilah ilmu alat.


Penguasaan terhadap ilmu-ilmu alat tersebut merupakan modal utama bagi para pengkaji agama Islam, terutama dalam memahami dan menggali kompleksitas dalam Al-Quran dan hadis. Hasil galian-galian terhadap sumber ajaran agama Islam itu setidaknya terumuskan dalam beberapa dimensi, antara lain: berbicara tentang keyakinan, perasaan, dan perbuatan. Bila keyakinan dan perasaan lebih menyangkut aspek mental dan spiritual, yang berada dalam hati dan akal manusia; dimensi perbuatan lebih menyangkut aspek aktualisasi dari keyakinan dan perasaan tersebut dalam wujud tingkah laku. Ketiga dimensi tersebut ada yang merumuskan sebagai hakikat, tharikat, dan syariat atau ada juga yang merumuskan menjadi iman, Ihsan, dan ibadah. Selain itu ada juga yang membagi menjad hubungan dengan Tuhan (hablum minallah), hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), dan hubungan dengan alam (hablum minal alam). Masing-masing dimensi ini pun memiliki kompleksitas tersendiri yang penting untuk diperhatikan.

Keragaman manusia, baik yang akibatkan oleh cara berpikir, latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi, maupun kondisi sosial-budaya dan politiknya, pun menghasilkan pemahaman-pemahaman yang beragam pula. Di masing-masing dimensi tersebut di atas pada akhirnya terkelompok dalam berbagai faham, aliran, atau madzhab. Meski semua sepakat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, namun konsepsi dan cara memahami tentang Allah menjadi beragam. Dalam bidang Akidah atau keyakinan ini ada yang dikenal nama Murjiah, Mu'tazilah, Khawarij, Syiah, Ahlu Sunna Wal Jamaah, dan sebagainya. Begitu juga dengan bidang Fiqih dan Tasawuf. Masing-masing memiliki pendekatan dan kesimpulan tersendiri. Sehingga mengetahui dan memahami perbedaan-perbedaan tersebut juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan.

Luasnya cakupan dan banyaknya jumlah pengetahuan tentang agama Islam ini membuat perhatian dan konsentrasi masing-masing orang berbeda-beda. Ada orang yang lebih tertarik pada kajian ilmu-ilmu Al-Quran saja, mulai dari problem cara membaca teks yang baik dan benar atau disebut ilmu tajwid hingga ilmu qiraat menurut berbagai riwayat, sampai pada kajian tafsir. Mereka ini dikenal sebagai ulama bidang atau ahli Al-Qur’an. Ada yang konsentrasi bidang hadis, ada yang konsentrasi bidang Fiqih dan ushul Fiqih, ada yang konsentrasi bidang Tasawuf dan Thariqah, dan lain-lain. Masing-masing bidang ini pun masih terfokus pada kajian-keji an yang lebih khusus lagi. Misal di bidang Fiqih ada yang konsentrasi pada ilmu Falak, ilmu Faraidl, ilmu Ekonomi Syariah, dst. Kedalaman masing-masing pengetahuan ini tentu saja dapat ukur menurut bidangnya masing-masing. Orang ahli politik Islam belum tentu mendalami Tasawuf atau sebaliknya. Karena itu, biasanya seorang Ulama sangat menghormati satu sama lain.

Dari uraian di atas, tampak lumayan jelas bagaimana jenis-jenis ilmu dan pengetahuan dalam agama Islam. Selanjutnya dari pengetahuan sekilas tentang pengetahuan tersebut, bagaiman cara menguasai ilmu pengetahuan tersebut? Di Indonesia, ilmu-ilmu pengetahuan agama Islam tersebut biasanya hanya diajarkan secara terencana dan sistematis di Pesantren, Madrasah, dan Perguruan tinggi keagamaan Islam. Meski selain ketiga institusi tersebut ada juga yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam, umumnya tidak sekompleks dan selengkap di ketiga institusi tersebut. Jadi wajar, jika banyak ulama lahir dari ketiga tempat tersebut, apalagi ketiganya dilalui orang tersebut sebagai jenjang pendidikannya, dari Pesantren dan madrasah kemudian lanjut ke perguruan tinggi. Meski memiliki kompetensi, kedalaman pengetahuan dan pemahaman agama Islam mereka masih harus ditinjau lagi untuk konteks-konteks tertentu, karena masing-masing orang memiliki kemampuan yang beragam. Apalagi orang yang tidak pernah belajar ilmu agama Islam secara sistematis.

Selain menyusun dan merencanakan materi-materi pembelajaran agama Islam, lembaga-lembaga pendidikan agama Islam juga memiliki standar-standar penilaian atas kelulusan peserta didiknya. Bahkan tidak jarang lembaga pendidikan tersebut lebih menekankan bidang-bidang tertentu saja,  bahkan satu bagian dari bidang tersebut, seperti bidang kajian Al-Qur'an, ada yang menekankan penghafalan Al-Quran saja dan ada pula yang fokus tafsirnya saja. Oleh karena itu, belum tentu orang yang ahli tafsir Al-Quran menguasai penuh bidang fiqih dan ushul fiqh atau sebaliknya. Orang yang hafal Al-Quran 30 juz belum tentu juga menguasai ilmu alat dan ilmu-ilmu lainnya.

Atas dasar pemahaman ini, maka saya berharap jenis dan tingkatan ulama sudah tergambar di pikiran kita masing-masing. 

Tidak ada komentar