Merawat Silsilah


"Bukanlah seorang pemuda jika mengatakan 'inilah nenek moyangku', tetapi seorang pemuda adalah yang mengatakan, 'inilah aku apa adanya'."

Ibuku sering mengungkapkan versi bahasa Arab atas pernyataan tersebut kepadaku. Beliau seperti menginginkan aku sebagai orang berprestasi atas dasar perjuangan sendiri, bukan menumpang gratis perjuangan orang tua atau para leluhur. Beliau sangat jarang menceritakan, bahkan hampir tidak pernah, memuji Bapak dan leluhurku di hadapanku. Di sisi lain, beliau menceritakan keunggulan dirinya, dengan malu-malu, seperti ungkapan, "padahal aku sendiri yo gak pinter." Mungkin karena itu, aku sering merasa minder, malu, alias tidak percaya diri bahwa aku ini bisa. Dan aku juga heran saat ada orang lain menganggapku "lebih" dari orang lain atas sesuatu yang aku anggap biasa saja.

Sik ta lah, iki jane ape ngomong opo?

Oh, Iyo oke...

Banyak orang mempersoalkan bahwa panggung sosial-politik di Indonesia, bahkan di dunia ini, sebenarnya dimainkan oleh orang-orang itu saja dan keturunannya. Coba kita cek satu per satu tokoh-tokoh nasional yang muncul, bukankah mereka adalah keturunan dari orang-orang yang dahulu telah berkiprah di panggung sosial-politik itu juga? Mereka menyebutnya "Politik Dinasti". Anak, cucu, cicit, dan seterusnya akan terus terlibat dalam perebutan "kekuasaan", atau setidaknya menjadi bagian yang berada di lingkungan "kekuasaan", apapun itu bentuk urusannya. Karena itu, siapa pun yang tiba-tiba muncul di panggung "kekuasaan", orang-orang akan melacak jejak DNA (Asam Deoksribo Nukleat) "kekuasaan" nenek moyangnya.

Hmm... So what?

Di situlah masalahnya. Apakah DNA kekuasaan itu ada? Bagaimana ia bekerja?

Secara biologis, konon, dalam DNA seseorang terdapat rekaman karakter leluhurnya. Sekitar 30-35 ribu gen pembawa sifat leluhurnya mengalir tanpa ada perubahan, walaupun sudah ribuan tahun. Jika dulu leluhurnya adalah seorang pecundang atau penyintas politik, kemungkinan besar saat ini dia juga seorang pecundang atau penyintas politik juga. Potensi biologis ini dapat dibilang adalah modal dasar.

Saya tidak mengerti apakah modal dasar ini dapat mengalami pembelokan atau tidak. Saya menduga potensi pembelokan itu sangat mungkin terjadi karena terjadinya proses perkawinan silang dari berbagai macam karakter yang akhirnya bercampur. Sebut saja, misalnya, si A sebenarnya memiliki jalur silsilah dengan seorang penyintas politik. Anaknya menikah dengan pecundang politik, kemudian cucunya menikah lagi dengan pecundang politik. Mungkin dari proses ini gen penyintas politik yang mengalir dalam diri cucunya sudah jauh berkurang. Meski sudah mengalami penyimpangan, bisa jadi, potensi keturunannya menjadi penyintas dalam diri cicit atau keturunan selanjutnya dapat berkembang lagi karena faktor lingkungan atau pergaulan. 

Faktor kultural diakui banyak pakar mempunyai kontribusi besar terhadap karakter seseorang. Kultur bisa menjadi media untuk membentuk dan sekaligus merawat kebiasaan atau tradisi tertentu yang dianggap ampuh mengatasi persoalan yang dihadapi suatu kaum, termasuk keluarga. Apalagi kebiasaan atau tradisi tersebut bukan sekadar dapat menyelamatkan kaum tersebut untuk bertahan hidup, tetapi bahkan kaum tersebut makin digdaya dan sejahtera. Jika tradisi untuk memimpin (politik) membuat dia dan kaumnya dapat menjaga dapur tetap ngebul atau bahkan disegani dan mendapatkan kemuliaan, menjaga dan mengembangkan kekuasaan tampaknya harus diajarkan secara turun-temurun.

Tentu saja bicara kekuasaan (politik) ini tidak terbatas pada pengertian formal. Setiap orang memiliki politik untuk bertahan hidup. Menguasai lapak tempat pembuangan akhir sampah juga dapat dilihat sebagai masalah kekuasaan (politik). Seseorang yang tiba-tiba tersinggung, seremeh apapun sumbernya, menunjukkan bahwa dia memiliki kekuasaan tertentu. Itu perspektif yang saya pegang dari Michel Foucault dan Lila Abu-Lughod.

Jadi, sebenarnya ini bicara apa?

Iya. Merawat silsilah adalah praktik kultural untuk mengenali identitas dan mengembangkan potensi diri. Siapa sebenarnya diri kita ini? Apakah seorang penjahat, penjahit, atau pejabat? Mengapa kita saat ini dalam kondisi seperti ini? Apakah kondisi ini harus dipertahankan atau diubah setelah tahu bahwa sebenarnya kita memiliki potensi yang lebih besar dari kondisi saat ini?

Merawat silsilah adalah melanjutkan perjuangan para leluhur untuk tidak sekadar hidup.

Tidak ada komentar