Orang Kampung Mendefinisikan Kota

Suatu hari dalam kongkow-kongkow, Cak Abidin tiba-tiba mengajukan satu kelakar, "Andaikan desa ini mendadak menjadi kota, senang kali, ya rek? Banyak mobil lewat. Jadi ramai sekali. Paling, Sahlul langsung sorak-sorai. Hore... Hore..." Ungkap Cak Abidin sambil ketawa keras.

Sebagai anak-anak yang tinggal di pelosok kampung tahun 1980-an, kami belum dapat membayangkan apa itu kota. Gambaran yang muncul di benak saya pribadi pada saat itu, kota adalah jalan raya yang banyak mobil. Tentu saja, saat itu, kendaraan bermotor adalah barang langka. Jangankan mobil, di kampung saya orang memiliki motor saja masih sangat jarang. Karena itu, melihat banyak mobil adalah suatu kemewahan tersendiri.

Terus terang, imajinasi saya tentang konsep kota saat itu belum muncul secara jelas. Ruas jalan yang lebar dan beraspal tampaknya sudah saya kategorikan sebagai kota, meski saya ragu. "Apa iya jalanan beraspal adalah kota?" Walaupun sudah pendidikan Aliyah pun sebenarnya saya belum tergambar secara jelas apa itu kota. Maklum, sampai lulus Aliyah saya tinggal dan sekolah di kampung halaman sendiri. Meski sebenarnya saya dan teman-teman suka keluyuran ke kota kabupaten. Selain itu, waktu kelas 2 Aliyah saya masuk jurusan Biologi sehingga kurang mendapat pemahaman ilmu sosial.

Lulus Aliyah, barulah saya tinggal di suatu kota untuk melanjutkan pendidikan. Meski secara konseptual pemahaman saya tentang kota belum benar-benar jelas, namun saya sudah mulai bisa membedakan kota dan desa. Dari pengalaman saya setelah tinggal di kota, saya memahami bahwa kota adalah suatu kawasan yang banyak toko dan bangunan-bangunan perkantoran, tentu saja di sana jalannya beraspal dan banyak mobil. Orang-orang penghuni kota yang saya lihat adalah para pekerja dengan penampilan yang baik. Kaum laki-laki semua pakai celana, bukan pakai sarung seperti orang kampung saya. Begitu juga kaum perempuannya, selain ada yang pakai celana juga pakai rok yang bagus. Dan ketika malam hari, lampu-lampu terang benderang. Orang-orangnya pun masih sangat sibuk berlalu-lalang.

Gambaran kota yang saya tinggali sangat kontras dengan suasana kampung saya. Walaupun kampung halaman saya tergolong rapih dan terang benderang ketika malam hari, namun relatif sepi. Di kampung saya hanya ada beberapa toko serba ada dan beberapa warung makanan. Posisi toko dan warung tidak terkumpul dalam satu area yang khusus. Berbeda dengan di kota. Boleh dibilang, berdasarkan pengalaman saya saat itu, kota adalah kumpulan toko-toko. Barang-barang yang dijual toko-toko tersebut sangat beragam dan tampaknya bagus-bagus. Barang yang tidak saya temui di kampung ada di kota, terutama pakaian.
Kami, orang kampung, biasa datang ke kota untuk membeli pakaian dan perabot rumah tangga yang tidak dapat kami peroleh di desa. Menjelang Lebaran Fitri atau masa tahun ajaran baru sekolah, kami datang ke kota untuk belanja baju, sarung, dan perabotan rumah tangga.

Hampir semua kaum laki-laki selalu pakai sarung, dan kaum perempuan memakai rok panjang atau busana muslim. Jika ada lelaki yang memakai celana panjang, teman-temannya spontan bertanya, "Mau kemana?" Atau "Dari mana?" Tentu saja pertanyaan itu tidak berlaku bagi para siswa dan guru yang menggunakan standar pakaian bercelana.

Awalnya saya memang tidak terlalu perhatian pada aspek pola hunian. Namun setelah hidup di tengah kota, saya menyadari bahwa pola hunian di kampung dengan di kota jauh berbeda.

Pola hunian di kota tampak sangat padat. Jarak antar rumah hampir tidak ada. Apalagi yang namanya kompleks perumahan. Dua rumah hanya tersekat oleh satu tembok.

Definisi saya tentang kota tentu saja masih sangat bersifat deskriptif, naratif, dangkal, dan belum konseptual. Sebab saya memahami kota berdasarkan pengalaman hidup. Meski demikian, ini sangat penting sebagai dasar untuk membangun definisi yang lebih konseptual.

Banyak orang kampung yang hidup di kota setelah dewasa merasakan bahwa hidup di kota sangat sumpek. Mungkin mereka merasa kaget terhadap perubahan jadwal kehidupan baru yang mendadak pasar. Lonjakan aktivitas di kota segera terkonfirmasi oleh pengalaman hidup di kampung asalnya yang tenang-tenang saja, alon-alon kecantol. Sementara hidup seperti dikejar-kejar target, cepet-cepet keserimpet. Lihat saja cara motor-motor di kota menyusuri aspal, kebut-kebutan seperti kebelet pipis. Ruang waktu telah terisi oleh berjubel keinginan dan harapan. Harapan dan keinginan seperti yang telah dimiliki para senior di kota: rumah dan perabotan bagus, kendaraan bagus, tampilan bagus, dan seterusnya yang bagus-bagus. Sementara untuk memiliki hal-hal yang bagus berkorelasi dengan biaya, dan biaya berkorelasi dengan produksi. Karena itu, aktivitas produksi juga harus diproduksi untuk menghasilkan produk yang berlebih.

Rangsangan produksi di kota sangat tinggi. Kota, sebagaimana yang amati dan rasakan, adalah ladang pertempuran para penghuni kota untuk berproduksi. Orang-orang kampung yang telanjur melepaskan alat produksinya di kampung, seperti lahan pertanian dan juga kerabat-kerabat yang diandalkan, harus membuka lapak baru perjuangan. Mereka harus memproduksi lapak sebagai ruang hidup mereka.

Rangsangan untuk menjadi seperti orang-orang di sekitar terasa begitu sangat kuat. Bagaimana tidak, begitu mata terbuka, hal yang tampak begitu menggoda. Gedung-gedung tinggi menjulang ke langit. Jika kita memasukinya, terasa sekali kemewahan gedung itu. Apalagi kalau kita mengecek harga setiap yang tampak itu di toko material. Begitu juga ketika tampak mobil melintas di hadapan, lalu kita cek harga merek tersebut. Rasa ingin memiliki atau menguasai sebagaimana orang-orang yang memiliki dan menguasai barang-barang tersebut terus dirangsang.

Rangsangan untuk mewujudkan segala keinginan di kota juga sangat tinggi. Potensi untuk mewujudkan cita-cita dan harapan sebagaimana orang-orang lain di sekitar sangat memungkinkan, asal rela mengorbankan waktu dan tenaga lebih banyak daripada sebelumnya atau orang lain. Tentu saja harus diimbangi berbagai kecerdasan, baik intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Sebab kecerdasan majemuk tersebut bukan saja modal, tetapi juga bisa menjadi komoditas. 

Jika demikian halnya, kota tampaknya memang ruang dan tempat perangsang untuk maju yang dapat menghasilkan berbagai produk. Benda-benda, seperti bangunan, toko, jalan raya, mobil dan lain sebagainya adalah wujud dari rangsangan. Rangsangan ini juga mewujud pada bentuk-bentuk perebutan, persaingan, dan konflik.

Tidak ada komentar