KH. Abdullah Umar, AH, Kiai yang Tak Pernah Mengeluarkan Santri


Suatu sore menjelang Maghrib di bilangan Kauman Semarang, seorang santri muda penghafal Alquran asal Kudus singgah di sebuah mushalla dalam keadaan lapar. Selain pakaian yang melekat di tubuh mungilnya, santri itu hanya berbekal mushaf Alquran yang mungil juga. Hatinya pasrah sambil mendaras ayat-ayat yang telah dihafalkan.

"Jika tak ada sesuap pun makanan, saya akan minum air di mushalla ini sekenyangnya," tekadnya dalam hati.

Makin banyak ayat-ayat Alquran dia baca, ruang mushalla itu makin temaram. Rupanya, kondisi tersebut menarik perhatian seseorang yang sedang mendekati mushalla. Dilihatnya pemuda sedang membaca Alquran dalam suasana keremangan. Orang itu penasaran dan menghampiri pemuda tersebut.

"Anda hafal Alquran, ya?" tanya lelaki itu kepada sang santri.

"Insya Allah, enggih," jawabannya pelan.

Lelaki itu seperti menemukan cahaya bersinar di keremangan sore. Rencananya untuk membuat sekolah sepertinya segera terjawab. Sebab, sudah lama ia mencari orang yang untuk mengajar, tapi tak kumjung datang.

"Wah, kebetulan. Saya ini sedang mencari guru untuk mengajar di sini. Kalau Anda mau, besok langsung bisa mulai?" lelaki itu menawarinya jadi guru.

"Enggih, Insya Allah," jawabnya bersemangat.

Dengan rasa gembira, lelaki itu langsung mengajak santri muda itu berkeliling ke beberapa rumah warga untuk mengabarkan bahwa saat ini sudah ada guru yang siap mengajar. Sambil diikuti santri itu, lelaki itu menyampaikan bahwa besok sekolah sudah bisa dimulai. Hingga akhirnya mereka mampir ke rumah lelaki itu.

"O, iya.. Kamu sudah makan?" lelaki itu tiba-tiba bertanya.

"Lah ini, yang saya tunggu," ucap hatinya dengan girang.

Sejak itulah Abdullah Umar telah menjadi bagian dari Kota Semarang. Bukan hanya diangkat menjadi guru, ia juga dinikahkan dengan putri lelaki tersebut, Umi Saudah. Dari pernikahan tersebut dikaruniai sembilan anak, kelak semua hafal Al-Qur'an 30 juz.


Mendirikan Pesantrèn

Menginjak usia 40-an tahun, Abdullah Umar mendirikan Pondok Pesantren Tahaffudzul Quran (PPTQ) Kauman Semarang. Tepat di belakang kantor KUA tempatnya bekerja dibangunlah asrama kecil yang hanya mampu menampung beberapa orang. Beberapa tahun kemudian, membangun lagi di sisi utara Masjid Kauman Semarang, yang terdiri atas dua lantai.

Santri-santri awal Abdullah Umar rata-rata sudah memiliki hafalan, bahkan sudah hafalan 30 juz. Mereka datang dari berbagai daerah, bahkan Malaysia dan Brunei Darussssalam. Hidup mereka dijamin secara gratis. Seluruh kebutuhan sehari-hari dipenuhi dari jemaah yang menjadi donatur agar fokus melancarkan hafalan. Bahkan tak jarang mereka mendapat uang tambahan dari masyarakat sebagai penghargaan masyarakat karena melakukan khataman Al-Qur’an, baik bil ghaib maupun muqoddaman.


Tidak Mengeluarkan Santri

KH. Abdullah Umar tidak pernah menolak siapa pun yang ingin menjadi santrinya dan tak pernah pula mengeluarkan santrinya. Meski demikian, jumlah santri yang tinggal di pondok pesantren tidak pernah membeludak. Jumlah santrinya tetap sesuai dengan jumlah kamar yang tersedia. Kalau ada yang masuk, biasanya ada pula yang keluar atau sebaliknya, jika ada yang keluar, ada pula yang masuk. Keluar-masuk santri ini berjalan secara alami, tanpa ada paksaan atau aturan yang merekayasa. Tiba-tiba saja ada yang tidak betah, atau disuruh pulang keluarganya, atau memang sudah lulus atau khatam.

KH. Abdullah Umar tidak membuat aturan yang ketat kepada para santri. Kegiatan santri hanya mengaji. Ada atau tidak adanya Kiai, mereka terus mengaji. Tak mesti di dalam pondok, bahkan kebanyakan di Masjid Agung Kauman-lah, para santri itu terus mengaji. Pondok lebih sekadar tempat istirahat, masak, dan makan.

Beberapa kali di pondok terjadi kejadian yang tidak diinginkan, seperti pertengkaran di antara santri, kemalingan barang di kalangan santri, atau perbuatan yang dianggap melampaui batas lainnya. Bagi KH. Abdullah Umar, peristiwa yang menyangkut para santri akan dikembalikan kepada para santri itu sendiri. KH. Abdullah Umar lebih sekadar menfasilitasi para santri untuk memutuskan perkara di antara mereka.

Misal, suatu hari ada dua orang sedang berkelahi atau terbukti mencuri barang temannya. Semua santri dikumpulkan di aula. Kedua belah pihak diminta menceritakan latar belakang perkelahian tersebut. Setelah ada yang mengaku salah, para santri diminta mengambil keputusan atas santri yang bersalah tersebut. Biasanya, keputusan tersebut diambil secara pengambilan suara secara tertutup dan tertulis (voting) dari dua pilihan, dimaafkan atau dihukum. Hukuman ini tergantung tingkat atau kualitas kesalahan yang dilakukan. Jika dianggap sangat berat, dapat dikeluarkan.

"Karena ini berhubungan di antara kalian dan kalian tinggal bersama, maka kalian sendiri yang harus mengambil keputusan. Kalau kalian masih menerimanya silahkan memilih nomor 1 atau memaafkan dan jika tidak bisa menerima lagi, silahkan pilih nomor 2, yang berarti mengantarkan pulang ke orang tuanya," ucapnya sambil menyuruh salah satu santri membagi potongan kertas voting.

Setelah semua santri membubuhkan angka di kertasnya masing-masing, potongan kertas itu dikumpulkan dan dihitung lagi sesuai dengan jumlah santri yang hadir. Dan keputusan yang diambil sesuai dengan suara terbanyak. Dengan cara begitu, KH. Abdullah Umar tidak pernah mengeluarkan santrinya.

Suatu ketika, saat KH. Abdullah Umar sedang menjalankan ibadah haji, badal (pengganti) sementaranya mengeluarkan beberapa santri karena dianggap melakukan kesalahan berat. Setelah pulang, dia baru mengetahui kejadian tersebut ketika santri yang dikeluarkan tersebut berpapasan dengannya dan menceritakan statusnya. Spontan dia kaget mendengar banyak santri yang dikeluarkan tersebut.

"Lho, Aku yang punya pondok saja tidak berani mengeluarkan santri, kok dia berani mengeluarkan kamu," ungkapnya dengan nada terheran-heran.

Meski demikian, KH. Abdullah Umar tetap menghormati putusan yang telah dikeluarkan badalnya. Santri tersebut tetap tidak boleh tinggal di pondok pesantren, tetapi tetap boleh menyetorkan hafalan bersamanya.

Tidak ada komentar