Istikhara Penentuan Awal dan Akhir Ramadan


Penentuan awal dan akhir Ramadan masih terus kontroversi hingga sekarang. Masing-masing kelompok keyakinan bersikukuh bahwa metode penentuan awal dan akhir bulan ini paling valid secara syar’i. Padahal semua, mungkin, sepakat bahwa bulan Ramadan merupakan bulan Allah (syahr Allah). Artinya, metode penentuan bulan suci ini adalah suatu ijtihad untuk memahami kehendak Allah seakurat mungkin. Sebab jika salah menentukan awal dan akhir Ramadan, hukum puasa seseorang bisa berubah. Karena itu, untuk menentukan awal dan akhir Ramadan perlu memohon petunjuk Allah swt melalui istikhara.

Secara metodologis, Allah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an bahwa untuk memahami awal dan akhir Ramadan dapat dilakukan melalui penghitungan (hisab). Berdasarkan pola peredaran bumi dan rembulan pada matahari yang telah berlangsung jutaan tahun, manusia diberikan kemampuan untuk memprediksi secara matematis tentang jatuhnya awal dan akhir bulan. Memang, pola peredaran bumi terhadap matahari lebih mudah dipahami dibandingkan dengan rembulan karena temponya.

Matahari vs. Rembulan
Bagi umat Islam, pola peredaran bumi terhadap matahari dapat diikuti secara kasat mata terus menerus. Ukuran dan sinar matahari yang sangat jelas memudahkan umat Islam menentukan waktu shalat. Setiap 2-3 hari umat Islam menggeser awal waktu shalat 1 menit, karena posisi matahari tampak di bumi terus bergeser ke utara, tengah, atau ke selatan setiap hari sehingga memengaruhi kecepatan waktu berdasarkan matahari.

Berbeda dengan rembulan. Cahaya rembulan tidak bersinar terang seperti matahari. Dalam kondisi mendung tipis saja, cahayanya tertutup gelap. Tidak semua orang dapat menentukan waktu berdasarkan cahayanya. Kebanyakan orang sulit memprediksi posisinya setiap waktu. Dalam sehari semalam, peredaran rembulan membutuhkan waktu kurang lebih 24 jam 50 menit, sedang matahari kurang lebih persis 24 jam. Posisi matahari juga dapat dipastikan bahwa bulan Desember berada di selatan dan bulan Juli di utara. Sedangkan posisi rembulan tidak dapat diketahui dengan mudah kapan di utara, tengah, dan selatan, bahkan berdasarkan bulan kamariah.

Memang, secara hisab posisi dan ukuran rembulan dapat diprediksi cukup akurat, Namun tidak semua umat manusia bisa menghitung secara tepat dan presisi. Sementara, syariat ibadah puasa Ramadan membutuhkan kepastian dan berlaku bagi setiap mukallaf. Jika belum masuk bulan Ramadan, hukum puasa tidak dapat disebut memenuhi kewajiban. Begitu pula jika sudah keluar Ramadan, hukum puasa menjadi haram atau sunnah. Dan syariat ibadah puasa ini tidak hanya berlaku bagi orang yang mampu menghitung secara tepat, tetapi berlaku universal, baik orang awam maupun masyarakat berperadaban rendah.

Mencari Isyarat Syariat
Untuk memastikan bahwa bulan Ramadan dan Syawal benar-benar tiba adalah hilal terlihat secara pasti. Isyarat ini tampak dalam hadits Rasulullah saw bahwa apabila ada orang melihat hilal maka segera diperintah puasa atau membatalkan puasa. Sebaliknya apabila tidak ada yang melihat hilal, puasa digenapkan menjadi 30 hari. Berdasarkan isyarat ini, siapapun orang itu dan di manapun kelompok masyarakat itu; memiliki kemampuan menghitung atau tidak, dan berani bersumpah telah menyaksikan hilal menjelang Ramadan atau Syawal maka dia harus menyampaikan dan/atau mengumumkan bahwa besok adalah puasa atau berhenti puasa.

Namun, berapa derajat seharusnya hilal dapat dijadikan dasar menentukan masuknya suatu bulan hijriyah, khususnya Ramadan dan Syawal? Dan di manakah titik posisi geografis yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk menentukan hilal? 

Di sinilah salah satu titik krusial yang menjadi objek perdebatan para ahli dan ulama. Satu kelompok menentukan berdasarkan pada imkan rukyat dan kelompok lain berdasarkan wujudul hilal. Metode imkan rukyat pun berbeda pendapat antara 2, 3, 4, atau bahkan 15 derajat. Sedangkan metode wujudul hilal menggunakan ukuran jika posisi rembulan sudah berada di atas ufuk saat matahari terbenam, seberapapun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), sudah kategori masuk tanggal awal bulan.

Selain itu, lokasi geografis posisi hilal juga masih diperdebatkan. Dalam hal tahun masehi, komunitas internasional menyepakati Greenwich sebagai wilayah yang dijadikan ukuran awal waktu dunia karena dilalui titik nol derajat. Akan tetapi, dalam hal tahun hijriyah terdapat dua kelompok wilayah untuk titik awal menentukan waktu, yaitu kelompok yang menentukan berdasarkan kesepakatan komunitas yang menjadikan Mekkah sebagai titik awal dan kelompok lain berdasarkan lokalitas atau regional sebagai titik awal masing-masing wilayah. 

Persoalannya, matahari terbit dari timur dianggap sebagai titik awal, dan hilal berada di barat sebagai titik awal. Mekkah atau Arab Saudi berada di barat Indonesia. Selisih waktu Indonesia dengan Arab Saudi sekitar 4-6 jam berdasar pembagian waktu di Indonesia (WIB, WITA, dan WIT). Suatu ketika, hilal di Indonesia baru berkisar kurang dari 1 derajat, namun beberapa jam kemudian, di Arab Saudi tampak sekitar 4-5 derajat. 
Tidak perlu memperbandingkan antara Indonesia dan Arab Saudi, antara Papua dan Aceh saja bisa selisih. Dalam satu hari, selisih 2 jam, Papua 4,20 derajat, di Aceh sudah 4,95 derajat. Hal ini menunjukkan bahwa, makin ke barat potensi keterlihatan hilal dapat terjadi. 

Meski demikian, Ramadan adalah bulan Allah. Dialah yang menentukan kapan bulan itu tiba dan berakhir. Dalam bulan ini terdapat malam penuh berkah (lailatulqadar), yang jatuh pada malam-malam ganjil. Apabila salah dalam menentukan awal, malam utama tersebut akan jatuh pada malam genap. Padahal isyarat Rasulullah saw, umat Islam diserukan untuk menghidupkan malam ganjil tersebut karena para malaikat dan Jibril turun ke bumi untuk turut mencatat serta mendoakan orang-orang tersebut, khususnya di malam-malam ganjil terakhir. Bagaimana jika orang-orang salah menentukan malam ganjilnya?

Salah-benar dalam menentukan awal dan akhir Ramadan tidaklah tepat jika hanya berdasarkan pada kepastian kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) atau kekuatan politik. Kecanggihan iptek dan kesepakatan politik dalam menentukan awal dan akhir Ramadan dapat gugur begitu saja apabila ada seorang nelayan, petani, atau individu biasa yang bersumpah dengan sungguh-sungguh telah menyaksikan hilal melalui mata telanjang mereka.

Kepastian bulan Ramadan secara sederhana memang milik Allah SWT. Manusia dianugerahi akal untuk membaca dan memahami isyarat-isyarat alam dan wahyu, kemudian menentukan standar yang tepat. Apakah wujudul hilal atau imkanur rukyat, 0,01 derajat atau 15 derajat? Apakah wilayah di barat atau timur yang dapat dijadikan acuan? Tentu ini masih misteri yang harus dipecahkan. 

Oleh karena itu, istikhara merupakan salah satu bentuk ikhtiar yang perlu dilakukan dalam menentukan misteri awal dan akhir Ramadan. Memang, metode hisab dapat memprediksi kapan tampak hilal dan bagaimana kondisinya. Akan tetapi, hisab hanyalah prediksi yang perlu uji lapangan melalui rukyat. Namun, rukyat juga tidak selamanya berhasil dilakukan karena cuaca langit tidak selamanya mendukung untuk dapat menyaksikan hilal. Karena bulan ini adalah bulan Allah swt, memohon petunjuk kepada Allah swt dengan sungguh-sungguh berupa istikhara merupakan jalan yang perlu ditempuh agar diberikan hidayah tentang kebenaran awal dan akhir Ramadan.

Sahlul Fuad

Wallahu a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar